Tokoh utama kisah ini bernama Alisa Delisa. bocah Lhok Nga berusia 6 tahun yang tinggal bersama ibunya –yg ia panggil Ummi- serta ketiga kakaknya, Cut Fatimah (15 tahun) dan si kembar Cut Aisyah dan Cut Zahra (12 tahun). Ayah mereka -Abi Usman- bekerja di Kapal Tanker dan pulang setiap 3 bulan sekali, Dalam bayangan saya, ia gadis cilik penggemar warna biru. Berambut keriting, bermata hijau, kulit putih kemerahan dan hobi main bola. Cerdas, lincah, banyak tanya dan menggemaskan orang-orang di sekitarnya.
Sulit benar menghafal bacaan shalatnya. “In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma….wa-ma….wa-ma….” Delisa kesulitan melanjutkan hafalan bacaan shalatnya. Matanya terpejam.Tangannya menjawil-jawil rambut keritingnya. “Wa-ma…Waaaa-, waaa,wa-ma…”. “Waaaaa ma-cet nih ye!” Aisyah yang sedang bermain gundu dengan Zahra tertawa kecil. Menyahut begitu saja.
Uh! Delisa berusaha keras menghafalnya. Bukan hanya ujian hafalan oleh Bu Nur minggu depan. Tapi juga karena iming-iming hadiah kalung emas dari Ummi-nya. Sama seperti kakaknya Fatimah. Sama seperti kedua kakak kembarnya. Aisyah dan Zahra. Waktu mereka kecil.
Dan ketika pagi 26 Desember 2004 itu. Delisa sedang maju di muka kelas. Ujian hafalan shalat yang dinanti-nanti. Ummi menunggu di luar kelas. Tadi sebelum berangkat, ketiga kakaknya tersenyum-senyum mengantar kepergian adik dan Umminya.
Delisa akan khusuk.
“Allahu Akbar”.
Tiba di penghujung kalimat itu. Bagai dipukul tenaga raksasa. Air yang tersedot ke dalam rekahan tanah tadi kembali mendesak keluar. Mendesis mengerikan. Bergemuruh menakutkan.
Ujung air menghantam tembok sekolah. Ibu guru Nur berteriak panik. Delisa ingin khusuk. Delisa ingin satu. “Rab-ba-na-la-kal-ham-du..” tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa mengap-mengap.
Enam hari kemudian, Prajurit Smith dari Militer Amerika Serikat-lah yang menemukan Delisa tersangkut semak belukar berbunga putih empat kilometer dari sekolahnya. Dengan seluruh tubuh penuh luka, kaki koyak bernanah, kelaparan, kepanasan, kedinginan, Delisa setengah tidak sadarkan diri. Segera ia diterbangkan dengan helikopter super puma menuju Kapal Induk John F.Kennedy. Tak ada yang menemani. Hanya Delisa seorang.
Ia tak tahu bahwa ummi-nya hilang entah kemana. Kedua kakak kembarnya ditemukan mati berpelukan. Kakak tertuanya dikubur tiga hari setelah bencana. Rumahnya rata dengan tanah. Lapangan bola tempat ia biasa bermain rata. Sekolahnya hanya tinggal pondasi tiang bendera.
Abi-nya masih nun jauh di tengah lautan Kanada. Ia benar-benar sendirian. Dan yang lebih mengerikan lagi, ia tak tahu bahwa ketika ia sadar nanti.
Ia benar-benar LUPA bacaan shalatnya
Kelebihan Novel ini adalah ditulis dalam kesadaran ibadah. Buku ini mengajak kita mencintai kehidupan, juga kematian, mencintai anugerah juga musibah, dan mencintai indahnya hidayah. Lalu, disajikan dengan gaya sederhana namun sangat menyentuh. Penulis berhasil menghadirkan tokoh-tokoh dan suasana dengan begitu hidup. Islami dan luar biasa. Pantas dibaca oleh siapa saja yang ingin mendapatkan pencerahan rohani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar